Entri Populer

Kamis, 28 Mei 2015

Peta Sejarah Persebaran Hindu Budha di Nusantara



                                                                        BAB I
                                                             PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

           Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia. Untuk lebih jelasnya, silahkan amati gambar peta jaringan perdagangan laut Asia Tenggara yang di atas.
Awal abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut.
   Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara    Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia. Persebaran agama dan budaya Hindu-Budha dari India ke Indonesia melalui jalur lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Hal ini, dikarenakan letak geografis Indonesia yang sangat strategis sehingga memungkinkan hubungan dagang dengan negara lain. Pelayaran di Indonesia awalnya dilakukan hanya sebagai lalu lintas utama penghubung antarpulau tetapi kemudian hal tersebut mendorong adanya aktivitas perdagangan serta penyebaran Hindu Budha di Nusantara. Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien. Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

               Untuk itu perlu diketahuinya sejarah dari agama-agama yang ada di Indonesia. Untuk itu penulis membuat makalah ini, agar kita lebih jelas dalam memahami peta sejarah persebaran Hindu Budaha di Nusantara.

1.2 Rumusan Masalah         
Adapun rumusan masalah yang penulis tarik untuk dibahas dalam makalah ini yaitu sebagai berikut.
1.      Apakah yang mendorong masuk dan berkembangnya Hindu Budha di Nusantara?
2.      Siapa yang membawa Hindu Budha berkembang di Nusantara?
3.      Bagaimana Peta Sejarah Persebaran Hindu Budha di Nusantara?
4.      Apa saja peninggalan Hindu Budha di Nusantara?

1.2  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis menulis makalah mengenaai Peranan Disiplin Dalam kegiatan Belajar mengajar yaitu;
1.      Untuk memenuhi tugas kelompok yang diberikan Dosen pengasuh kepada penulis
2.      Untuk menambah pengetahuan serta wawasan tentang Sejarah Peta Persebaran Hindu Budha di Nusantara




1.3  Manfaat Penulisan

            Penulis berharap makalah ini dapat memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen pengasuh kepada penulis serta makalah ini agar bermanfaat untuk menambah pengetahuan khususnya mengenai Sejarah Peta Persebaran Hindu Budha di Nusantara.



















                                                                   BAB II
                                                            PEMBAHASAN

2.1   Faktor Pendorong Masuk dan Berkembangnya Hindu Budha di Nusantara

Bangsa Arya merupakan pendatang di India. Menurut Repson, seorang sarjana Inggris, Penduduk asli India adalah bangsa Gond yang smapai saat ini masih hidup dan menetap di pedalaman India dan panah adalah senjata yang mereka pergunakan untuk melindungi diri. Mereka menyingkir ke hutan karena terdesak oleh bangsa Dravida yang kemudian menjadi pendukung kebudayaan Lembah Sungai Indus. Namun bangsa Dravida pun akhirnya terdesak ke Selatan oleh kedatangan bangsa Arya sekitar tahun 1500 SM, Prof. Gills berkesimpulan bahwa mereka berasal dari Benua Eropa tepatnya Austria-Hungary dan Bohemia. Selanjutnya mereka berusaha masuk dan menetap di India. Lama kelamaan mereka mampu menguasai seluruh dataran rendah sungai Lembah Indus dan Gangga. Setelah menduduki wilayah yang demikian luas itu, mereka menamakan tempat yang mereka tempati itu dengan Aryavarta yang bearti tanah bangsa arya, atau Hindustan yang bearti negeri orang Hindu. Bangsa sudah mempunyai kepercayaan sebelum mereka pindah ke India. Dilihat dari perpindahannya, mereka itu terdiri dari dua kelompok, yaitu yang ke Iran dan India. Kelompok yang ke Iran membawa buku yang disebut Avesta, sedangkan yang ke India membawa buku yang disebut Veda.
Kitab Veda dibagi dalam empat bagian sesuai dengan isi dan di daerah mana ia dibuat. Keempat Veda itu adalah:
1)      Rig Veda yang berisi syair-syair pujian
2)      Sama Veda berisi nyanyian-nyanyian untuk upacara agama
3)      Athara Veda berisi tentang doa-doa untuk menyembuhkan penyakit, nyanyian sakti khusus bagi golongan Brahmana
4)      Yajur Veda berisi tentang doa-doa berupa puisi dan prosa
Kedatangan bangsa Arya ke India pun merupakan titik permulaan sejarah bagi India yang meninggalkan masa Pra- sejarahnya. Bangsa Arya pula yang menciptakan Sistem Kasta dalam agama Hindu. Bentuk tertua dari Agama Hindu berasal dari bangssa Arya, menurut mereka dewa Indra adalah dewa yang paling hebat dan utama. Jadi, Agama Hindu bukan turun atau wahyu dari Allah SWT, tetapi lebih merupakan hasil pikiran yang dikembangkan dan direalisasikan dalam bentuk upacara, mantra, dan doa. Selanjutnya, karena ajaran Hindu itu datang berangsur-angsur, tanpa ada pembawa yang pasti maka tiada dogma yang tetap. Bagi mereka asal mengakui Veda sebagai buku suci, ia adalah Hindu. Pengertian Hinduisme bisa kita sebut sebagai agama, juga bisa diartikan sebagai etika. 
Pemikiran orang Hindu didasari oleh:
1.      Kitab Suci Veda (pengetahuan)
2.      Brahmana
3.      Kitab-kitab Upanishad
Sedangkan Agama Budha muncul melalui Ilham yang datang kepada seseorang Ksatria bernama Sidharta Gautama. Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata dalam Sanskerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.
                Ketika zaman Hindu dan Budha, perkembangan pendidikan disesuaikan dengan pusat pertumbuhan masyarakat Hindu dan Budha yang berkembang bersama kerajaan besar yang ada di Jawa dan Sumatera. Kemudian kedua agama yaitu hindu-budha tersebut berkembang ke berbagai negara di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk ke Indonesia yang akhirnya mempengaruhi kebudayaan Indonesia begitu juga dengan pendidikan yang diajarkan agama Hindu-Budha.
Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutai dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kudungga. Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama. Menurut catatan I-Tsing, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Tsing menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di Madhyadesa (India). Bahkan diantara para guru di Sriwijaya tersebut sangat terkenal dan mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti dan Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi pendahuluan dan persiapan lainnya. Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan sejarahnya di India. Disini, kedua agama tersebut dapat tumbuh berdampingan dan harmonis. Bahkan ada kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya memadukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi. Sebagaimana tercermin dari satu bait syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada zaman Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”, yakni dewa-dewa yang ada dapat dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika) sejatinya adalah satu (tunggal). Sekalipun demikian, patut diketahui sempat adanya sejarah konflik politik antar kerajaan yang berbeda agama pada masa-masa permulaannya.
Persebaran agama dan budaya Hindu-Budha dari India ke Indonesia melalui jalur lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Sejak awal abad 1 M Indonesia telah menjalin hubungan dagang dengan negara lain. Hal ini, dikarenakan letak geografis Indonesia yang sangat strategis sehingga memungkinkan hubungan dagang dengan negara lain. Pelayaran di Indonesia awalnya dilakukan hanya sebagai lalu lintas utama penghubung antarpulau tetapi kemudian hal tersebut mendorong adanya aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan tersebut akhirnya dilakukan bukan hanya di Indonesia saja.
Hal ini disebabkan karena :
·         Setelah ditemukan jalur. melalui laut antara Romawi dan Cina maka perlayaran dan perdagangan Asia semakin ramai. Sehingga wilayah yang dilalui jalur perlayaran dan perdagangan tersebut ikut aktif dalam perdagangan. Indonesia sebagai wilayah yang strategis menjalin hubungan dengan Cina dan India. Wilayah Indonesia yang berada di sebelah Timur India menyebabkan para pelaut India lebih mudah mencapai Indonesia dan terbentuklah perdagangan antara India dan Indonesia.
·         Didukung adanya pola angin. musim yang berubah arah setiap 6 bulan.
·         Didukung adanya perluasan.kekuasaan kerajaan Cina yang membawa kekuasaannya ke Asia Tenggara mendorong timbul perdagangan maritim di Asia Barat ke Cina Selatan melalui Indonesia. Perdagangan di Asia Barat didukung oleh para pedagang India.
       
Ø  Barang perdagangan: emas,· kayu cendana, rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus, dan kemenyan dari India sampai Indonesia.
Melalui perdagangan tersebut berkembanglah kebudayaan Asing termasuk India serta Agama Hindu dan Budha yang dianut oleh sebagian besar pedagang India. Agama tersebutlah yang kemudian dianut oleh raja-raja di Indonesia yang selanjutnya mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia.

2.2  Pembawa Hindu Budha berkembang di Nusantara
            Untuk penyiaran Agama Hindu ke Indonesia, terdapat beberapa pendapat/hipotesa yaitu antara lain:
1)      Hipotesis Ksatria, diutarakan oleh Prof.Dr.Ir.J.L.Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.
2)      Hipotesis Waisya, diutarakan oleh Dr.N.J.Krom, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang yang datang untuk berdagang ke Indonesia, bahkan diduga ada yang menetap karena menikah dengan orang Indonesia.
3)      Hipotesis Brahmana, diutarakan oleh J.C.Vanleur berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana karena hanyalah kaum Brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia.
4)      Hipotesis Sudra
Von van Faber mengungkapkan bahwa peperangan yang tejadi di India telah menyebabkan golongan sudra menjadi orang buangan. Mereka kemudian meninggalkan India dengan mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran budaya Hindu ke Nusantara.

Pada dasarnya ketiga teori tersebut memiliki kelemahan yaitu karena golongan ksatria dan waisya tidak mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam kitab suci Weda. Dan golongan Brahmana walaupun menguasai bahasa Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot tidak boleh menyebrangi laut.
Disamping pendapat / hipotesa tersebut di atas, terdapat pendapat yang lebih menekankan pada peranan Bangsa Indonesia sendiri, untuk lebih jelasnya simak uraian berikut ini.
-          Hipotesis Arus Balik dikemukakan oleh FD. K. Bosh. Hipotesis ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini dalam penyebaran budayanya melakukan proses penyebaran yang terjadi dalam dua tahap yaitu sebagai berikut:

           Pertama, proses penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Budha atau para biksu, yang menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka membawa kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan menulis serta kesan-kesan mengenai kebudayaan India. Dengan demikian peran aktif penyebaran budaya India, tidak hanya orang India tetapi juga orang-orang Indonesia yaitu para biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan melalui karya seni Indonesia yang sudah mendapat pengaruh India masih menunjukan ciri-ciri Indonesia.

            Kedua, proses penyebaran kedua dilakukan oleh golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut aliran ini seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan menjadi Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat melakukan upacara Vratyastome / penyucian diri untuk menghindukan seseorang.
Jadi hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya penganut Hindu - Budha ke Indonesia. Beberapa hipotesis di atas menunjukan bahwa masuknya pengaruh Hindu - Budha merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap di dukung oleh proses perdagangan.
Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).



2.3   Sejarah Peta Persebaran Hindu Budha di Nusantara
https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQXTEw1l0ChZkzWCRWtzk4WWexdIa1GL4RsJPdvWFpEpDWYdEOj4w
Agama Hindu Buddha berasal dari India, yang  kemudian menyebar ke Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia.
Awal abad Masehi,  jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat, tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang, maka terjadilah kontak antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia.
Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia. Sehingga orang India maupun Cina ketika singgah di Indonesia berabur dengan masyarakat pribumi sehingga terjadilah penyebaran agama, budaya, dan lain-lain.

Agama dan budaya Hindu-Buddha dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan pendeta dari India atau Cina, masuk ke Indonesia mengikuti dua jalur.
a)      Melalui Jalur Laut
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8GeYIO3aMO7_o3SwIl9jMHoLEqdgeOvxoTgH4obOA8z3BoiN-oEuH6HEkyOUqwDC1YHuQn7XvugmBPNuxPjA9urUdP7PNZNPZtu4IGvsyrpwd7anKXz9yhmXw93uzu0QNHj-SbPDPgeJY/s1600/ini+peta.PNG
Para penyebar agama dan budaya Hindu –Buddha yang menggunakan jalur laut datang ke Indonesia mengikuti rombongan kapal-kapal para dagang yang biasa beraktivitas pada jalur India–Cina. Rute perjalanan para penyebar agama dan budaya Hindu Buddha, yaitu dari India menuju Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, kemudian ke Nusantara. 

Sementara itu, dari Semenanjung Malaya ada yang terus ke Kamboja, Vietnam, Cina, Korea, dan Jepang. Di antara mereka ada yang langsung dari India menuju Indonesia dengan memanfaatkan bertiupnya angin muson barat.

b)     Melalui Jalur Darat
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiP3GEIrdj4SOyHKO6vbWA-EOLRSBD-NULPAMn-Z-r-LsGF0yd9z3uvE6AbKIUM6wXehoI2OzVn4uetD5JFVp-rpNq38hK32nqgz1Ym8OHUbLQwAdIgD-o1XmO5Hm10Gco39gmZdpTNmmaA/s1600/peto.jpg
Para penyebar agama dan budaya Hindu –Buddha yang menggunakan jalur darat mengikuti para pedagang melalui Jalan Sutra, dari India ke Tibet terus ke utara sampai dengan Cina, Korea, dan Jepang. Ada juga yang melakukan perjalanan dari India utara menuju Bangladesh, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya kemudian berlayar menuju Indonesia.

2.4.  Peninggalan Hindu Budha di Nusantara
Arkeologi Klasik adalah salah satu spesialisasi dari beberapa bidang spesialisasi dalam dunia penelitian arkeologi di Indonesia, berdasarkan waktu atau masa pengaruh kebudayaan tertentu. Arkeologi Klasik di Indonesia merupakan kajian arkeologi yang objek penelitiannya meliputi semua peninggalan purbakala yang mendapat pengaruh dari kebudayaan India, meskipun kenyataannya tinggalan-tinggalan purbakala tersebut berbeda jauh dari asalnya. Hal ini disebabkan adanya kehebatan dari nenek moyang kita dalam memadukan kebudayaan lokal dengan kebudayaan dari India.
Dalam Arkeologi Klasik, objek penelitiannya meliputi peninggalan dari masa Hindu-Budha, yang berupa Arca-arca, Bangunan Candi/Biara, serta Sejarah Sosial dan kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan India (Agama, Sistem Pemerintahan, Perdagangan, dan lain-lain). Tujuan dari penelitian bidang Arkeologi Klasik adalah mengungkapkan aspek-aspek kehidupan manusia masa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha melalui peninggalan kepurbakalaannya yang berupa bangunan candi/biara, arca-arca, dan lain-lainnya. Dalam periodisasi sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya beberapa tahapan secara garis besar, yaitu masa prasejarah yang merupakan perkembangan kebudayaan yang paling awal, seluruh kepulauan Indonesia mengalami tahapan prasejarah tersebut. Masa prasejarah kira-kira berakhir dalam abad ke-4 M dengan ditemukannya bukti tertulis awal di Nusantara. Masa prasejarah mempunyai suatu era penting yang dinamakan megalitik, dalam era itu penduduk kepulauan Indonesia telah menghasilkan bermacam monumen megalitik sebagai sarana pemujaan kepada arwah leluhur (ancestor worship). Aktivitas dalam era megalitik tersebut tidaklah terhenti, melainkan di beberapa tempat terus berlanjut hingga masa sejarah sudah dikenal oleh penduduk kepulauan Nusantara, bahkan ada yang terus bertahan hingga dewasa ini.
Kemudian disusul masa transisi antara periode prasejarah dan sejarah yang dinamakan proto-sejarah. Pada prinsipnya proto-sejarah mempunyai dua ciri, yaitu (a) di suatu tempat telah dijumpai bukti tertulis yang diduga aksara namun belum dapat dibaca, dan (b) berita tentang suatu wilayah telah dicatat oleh bangsa lain yang telah mengenal tulisan, sementara itu penduduk wilayah tersebut belum mengenal tulisan.  Masa proto-sejarah terjadi secara berbeda-beda di wilayah Indonesia, ada yang hanya singkat saja, namun ada pula yang berlangsung selama beberapa abad. Ketika penduduk kepulauan ini telah mengenal aksara dan meninggalkan berita tertulisnya, maka sejak itulah penduduk kepulauan Nusantara memasuki era sejarahnya. Dalam masa sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia dapat dibagi menjadi periode Hindu-Buddha, periode masuk dan berkembangnya Islam, kolonialisme Belanda, dan kemerdekaan Indonesia. Kajian ini selanjutnya membicarakan periode Hindu-Buddha Indonesia, khususnya yang berkembang di wilayah Jawa bagian tengah. Dalam telaah kebudayaan Indonesia, masa perkembangan pengaruh Hindu-Buddha tersebut lazim dinamakan zaman Klasik Indonesia.
Gaya Seni Klasik Tua
Pada galibnya suatu zaman dalam sejarah kebudayaan sesuatu bangsa dinamakan Klasik apabila mempunyai dua ciri:
1.      Masyarakat manusia dalam zaman itu telah menghasilkan tonggak-tonggak peradaban pertama yang akan menjadi dasar perkembangan peradaban selanjutnya di masa yang lebih kemudian, misalnya (mulai digunakan tulisan, sistem kalender, sistem kerajaan, konsep kepahlawanan, mitologi dewa-dewa, dan lainnya lagi).
2.      Banyak kaidah, aturan, konsep atau norma budaya yang berkembang dalam zaman tersebut terus saja digunakan hingga masa sekarang, jadi di zaman sekarang seringkali masih mengacu kaidah lama yang pernah berkembang sebelumnya di zaman awal kegemilangan peradaban bangsa tersebut.  Bagi bangsa Indonesia, zaman Klasik yang sesuai dengan kedua syarat  tersebut adalah masa perkembangan agama Hindu-Buddha di Nusantara, oleh karena itu masa Hindu-Buddha kemudian dinamakan zaman Klasik Indonesia.
Berdasarkan  berbagai tinggalan arkeologisnya, zaman klasik dibagi menjadi dua periode, yaitu (a) zaman Klasik Tua yang berkembang antara abad ke-8—10 M, dan (b) zaman Klasik Muda berkembang antara abad ke-11—15 M. Kedua zaman itu berkembang di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Sumatera dan Bali, namun banyak bukti arkeologi dalam zaman Klasik Tua didapatkan di wilayah Jawa bagian tengah, oleh karena itu terdapat kepustakaan yang menyatakan agak keliru dengan sebutan “Zaman Jawa Tengah”. Adapun untuk zaman Klasik Muda disebut juga secara keliru dengan “Zaman Jawa Timur”, berhubung banyaknya temuan arkeologi dari abad ke-11—15 (sebenarnya baru mulai banyak sejak abad ke-13) yang terdapat di wilayah Jawa bagian timur. Justru pembagian zaman Klasik yang didasarkan kepada kronologi tersebut untuk memperluas cakupan kajian, jadi tidak melulu bicara tentang tinggalan di Jawa bagian tengah atau timur belaka (Munandar 1995: 108).
Masa sejarah di Indonesia dimulai setelah ditemukannya bukti prasasti-prasasti awal (bertarikh sekitar abad ke-4 M) ditemukan di wilayah Kutai, Kalimantan Timur yang menyebut nama raja Mulawarmman dan Jawa bagian barat yang menyebutkan Kerajaan Tarumanagara dengan rajanya Purnnawarmman.Prasasti-prasasti itu menggunakan aksara Pallava dengan bahasa Sansekerta (Suleiman, 1974: 14—15);  sedangkan nafas keagamaan yang terkandung dalam prasasti-prasasti tersebut bercorak Veda kuno, masih belum memuja Trimurti. Dalam masa sejarah itulah pengaruh kebudayaan India mulai datang dan berkembang secara terbatas di beberapa tempat di Nusantara. 
Dalam masa selanjutnya pengaruh kebudayaan India awal yang menularkan ajaran Veda-Brahmana tersebut agaknya  tidak diminati lagi oleh masyarakat. Dengan menghilangnya kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat tidak ada kerajaan lainnya yang meneruskan ritual Veda Kuno yang didominasi oleh kaum Brahmana. Alih-alih kerajaan yang muncul kemudian di wilayah Jawa bagian tengah dalam abad ke-8 M bernafaskan Hindu Trimurti. Kerajaan itu adalah Mataram Kuno yang mengeluarkan Prasasti Canggal dalam tahun 732 M, dalam prasasti itu dinyatakan nama raja yang menitahkan penerbitan prasasti, yaitu Sanjaya. Nafas keagamaan yang cukup kentara dalam prasasti adalah Hindu-saiva, karena bait-baitnya banyak memuliakan Siva Mahadeva (Poerbatjaraka 1952: 53—55).
Bersamaan dengan masuknya pengaruh Hindu-saiwa, dalam masa yang hampir bersamaan datang pula pengaruh agama Buddha dari aliran Mahasanghika (Mahayana) ke tengah-tengah masyarakat Jawa Kuno. Dengan demikian di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 M berkembang 2 agama besar, yaitu Hindu-saiwa dan Buddha Mahayana yang beraasal dari Tanah India. Dalam perkembangannya itu banyak dihasilkan berbagai bentuk kesenian, seni yang masih bertahan hingga sekarang adalah bukti-bukti seni rupa yang berupa arca dan relief serta dan kemajuan karya arsitektur bangunan suci. Demikianlah risalah singkat ini memperbincangkan perihal zaman Klasik Tua yang berkembang di wilayah Jawa bagian tengah, bukan di wilayah lainnya di Indonesia. Bukti arkeologis yang akan dijadikan data, adalah penggambaran relief dan arca-arca dewa, baik yang dikembangkan dalam lingkup kebudayaan India, dan juga arca dan relief yang dihasilkan oleh kebudayaan Klasik Tua di masa Jawa kuno di Jawa tengah.
Hellenisme
Dalam sejarah kebudayaan India, setelah zaman Mohenjodharo dan Harappa, berkembanglah kesenian yang pertama kali muncul di Tanah India, yaitu gaya seni Maurya. Gaya seni Maurya dapat dinyatakan sebagai bentuk akulturasi dari berbagai gaya kesenian yang tumbuh di zaman itu, yaitu meneruskan gaya seni Lembah Sungai Sindhu Kuno, ditambah dengan pengaruh gaya seni Persia (achaemenid) yang sebenarnya sangat mengagumi perkembangan seni rupa Hellas (Yunani Kuno). Raja Chandragupta (322—298 SM), dan Bindusara Maurya (297—272 SM) dikenal sebagai orang yang Hellenophile, mereka pencinta kebudayaan Hellas (Wirjosuparto 1956: 24).
Orang Yunani kuno menyebut diri mereka sendiri dengan Hellenes, segala sesuatu yang dipandang sebagai milik budaya mereka disebut Hellenic. Adapun bentuk kebudayaan Yunani Kuno yang berkembang sesudah masa Alexander the Great disebut Hellenistic, yang artinya “seperti atau mirip, tetapi tidak sungguh-sungguh Yunani” (Cairns, 1985: 93). Sedangkan paham untuk mengembangkan dan mempelajari kebudayaan Hellenistic yang berkembang di India kemudian disebut dengan Hellenisme.
Perkembangan seni rupa Maurya sejatinya telah mendahului, perkembangan bentuk kesenian Hellenistic yang dibawa bersama masuknya kekuasaan Alexander the Great ke India bagian utara, beberapa abad kemudian. Kesenian Hellenistic dalam masa sesudah masuknya Alexander the Great sebenarnya melanjutkan saja bentuk anasir kesenian Yunani Kuno yang telah dikenal dalam zaman Maurya. 
Dalam perkembangan seni arca India, gaya seni arca Maurya  merupakan titik pangkal perkembangan seni arca selanjutnya. Pada awalnya  seni arca Maurya dipresentasikan dalam wujud yang serba besar, dan bersifat statis. Setelah mendapat pengaruh anasir seni arca Achaemenid dan Hellas, maka bentuk arca Maurya mengarah kepada bentuk yang halus, lemah lembut, bersifat plastis, ciri-ciri itulah yang kemudian diteruskan oleh bentuk seni arca  India selanjutnya (Wirjosuparto 1956: 32).
Maka dalam awal abad ke-3 SM mulailah pengembaraan tentara Yunani dipimpin oleh Alexander the Great ke wilayah timur untuk menaklukkan wilayah-wilayah kekuasaan Persia. Dalam tahun 331 SM ia berhasil mengalahkan tentara Persia dan menewaskan rajanya. Tentara Yunani juga menaklukkan wilayah-wilayah di Syria, merebut Tyre setelah dikepung cukup lama, menguasai Memphis dan merebut seluruh wilayah Mesir Kuno (Cairns 1985: 87).  Setelah mengusai Persia Alexander mulai mengarahkan tentaranya ke tanah India, dalam tahun 327 SM tentara Yunani melalui lembah-lembah pegunungan Hindukush masuk ke India utara. Perjalanan mereka dibantu oleh Raja Taksaśilā, raja ini sadar untuk tidak perlu melawan Alexander mengingat tentara yang dipimpinnya sangat banyak, dan pastinya ia akan kalah sia-sia. Setelah berada di wilayah pedalaman, tentara Alexander segera mendapat perlawanan dari orang-orang India. Salah satu peperangan penting terjadi antara tentara Alexander dengan bala tentara Raja Paurawa (Poros) yang menantikan musuhnya dengan tentara yang terdiri dari 200 ekor gajah, 30.000 prajurit infanteri, 4000 prajurit kavaleri, dan 300 kereta perang yang masing-masing dihela 4 kuda yang mampu mengangkut 6 prajurit. (Prijohutomo 1953: 16).
Semua kekuatan tentara Paurawa itu tidak mampu membendung serangan tentara Yunani, dalam pertempuran di Hidaspes angkatan perang Paurawa binasa, karena hantaman tentara Yunani dan juga karena gajah-gajah mereka sendiri yang menjadi liar akibat serangan berkuda yang melaju pesat dari tentara Yunani. Raja Paurawa ditangkap secara terhormat karena keyakinannya yang gigh membela tanah airnya, pada akhirnya Paurawa dilepaskan dan tetap dirajakan oleh Alexander dan menjadi sekutu orang-orang Yunani  yang penting di India (Prijohutomo 1953: 16, Cairns 1985: 91). Perjalanan bala tentara Yunani kemudian diteruskan memasuki pedalaman India ke lembah Sungai Gangga, akan tetapi ketika sampai ke pinggir Sungai Bias, bala tentaranya mogok dan menyatakan tidak bersedia meneruskan penyerangan merebut kota-kota musuh dan menguasai daerah baru di India. Mereka menyatakan ingin kembali ke Yunani yang telah lama ditinggalkan (Prijohutomo 1953: 17, Mulia  1959: 23). Pada tahun 326 SM, sebelum melakukan perjalanan kembali, Alexander memerintahkan bala tentaranya untuk mendirikan 12 kuil yang sebagai ungkapan terima kasih kepada dewa-dewa Yunani, kuil-kuil itu dilengkapi dengan arca-arca dewa yang tentunya dibuat menurut gaya seni Hellas. Perjalanan kembali  tidak melewati rute yang sama dengan kedatangannya, oleh karena itu tentara Yunani yang jumlahnya puluhan ribu tersebut melalui Sungai Indus menghilir terus ke arah muaranya di Laut Arab. Dalam perjalanan tersebut kerajaan yang ada di tepi Sungai Indus menghadang dan mengadakan perlawanan, sampai 3 kali Alexander dan tentaranya melakukan peperangan dalam perjalanan menghilir Sungai Indus. Sesampainya di tepi Laut Arab dibukalah pelabuhan baru atas nama Alexander. Perjalanan dilanjutkan dengan dua cara, sebagian menempuh perjalanan laut melalui Teluk Persia, dan sebagian lainnya dengan dipimpin sendiri oleh Alexander kembali ke Babylonia melalui perjalanan darat. Perjalanan darat itulah yang mengakibatkan banyak korban jatuh akibat kelelahan, kehausan, kelaparan, penyakit, dan peperangan-peperangan dengan suku-suku di pegunungan dan gurun.  Akhirnya Alexander tiba di Babylonia, sempat menikah dengan seorang putri bernama Roxana, Alexander meninggal dalam usia yang muda dalam umur 32 tahun (Mulia 1959: 24, Cairns 1985: 91)
Dapatlah dipahami bahwa masuknya anasir kesenian Yunani ke Tanah India dalam masa sesudah kerajaan Maurya adalah akibat dibawa langsung oleh orang-orang Yunani sendiri. Selain mengembangkan pengaruh kekuasaannya, orang-orang Yunani juga pada dasarnya membawa kesenian, terutama seni arca dan reliefnya. Dalam masa Gandhara perkembangan kesenian Hellenistic berlangsung dengan pesat, sehingga lahirlah paham Hellenisme yang menjadikan kesenian Yunani sebagai ukuran keindahan seni. Seni Gandhara terutama dikenal karena kemampuannya dalam mengembangkan kesenian Buddha, kesenian inilah yang pertama kali melukiskan tokoh Buddha sendiri. Sebelum itu Buddha hanya digambarkan dengan berbagai lambangnya, misalnya cakra, tapak kaki, dan petarana kosong. Kesenian Gandhara yang Hellenistic tersebut akan banyak mempengaruhi gaya seni selanjutnya di India (Prijohutomo 1953: 30). Kesenian Mathura yang berkembang agak lebih muda dari Gandhara, banyak terpengaruh pula oleh kesenian Gandhara terutama dalam penggambaran arca-arca Buddha dan Bhodhisattvanya. Kelenturan plastis yang dikembangkan oleh seni arca Mathura sebenarnya memperoleh pengaruh pula dari kesenian Gandhara, karena sejak abad pertama dan hingga abad ke-2 M, kesenian Gandhara masih menjadi acuan pengembangan kesenian Mathura (Wirjosuparto 1956: 48—49).
Kesenian Klasik India yang memuncak dalam zaman Gupta (sekitar tahun 300—600 M) merupakan perkembangan dan perpaduan lebih lanjut antara seni arca Gandhara dan Mathura. Jadi secara tidak langsung kesenian Gupta juga menyimpan pengaruh seni arca Gandhara terutama dalam penggambaran arca-arca Bauddhanya. Sebagaimana telah diketahui pada akhirnya agama Buddha Mahayana berkembang juga di Pulau Jawa, bahkan berhasil membangun monumen besar yang penuh dengan nilai estetika, yaitu Candi Borobudur. Maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kesenian Buddha dari India juga yang pada awalnya diperkenalkan kepada pemeluk agama Buddha di Jawa. Artinya anasir-anasir dari seni arca Gupta, Mathura, dan Gandhara yang Hellenistic juga memasuki dan mempengaruhi perkembangan seni arca dan relief di Jawa. Risalah singkat ini selanjutnya hendak menilik beberapa anasir seni Gandhara yang memasuki kesenian Jawa Kuno dalam zaman Klasik Tua, melalui perpaduannya dengan kesenian India lainnya, terutama periode Gupta.
Jejak Anasir Seni Arca Hellenistic dalam kesenian Klasik Tua di Jawa
Bersamaan dengan berkembangnya agama Buddha di Jawa, maka kesenian Buddhapun berkembang pula, karena kesenian dan aktivitas keagamaan pada masa itu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setelah memperhatikan ciri penggambaran relief yang terdapat di candi-candi Buddha masa Klasik Tua di Jawa Tengah, antara lain di Candi Borobudur, maka dapat disimpulkan adanya anasir seni yang mungkin meneruskan tradisi seni Hellenistic Gandhara yang diserap oleh kesenian Mathura dan Gupta yang pada akhirnya masuk ke Jawa.
Dalam penggambaran relief di candi-candi masa Klasik Tua di Jawa Tengah, dapat dikatakan adanya pengaruh Gandhara dalam kesenian  Gupta yang akhirnya menjadi ciri seni relief Jawa, namun apabila ditelusuri ciri itu dapat dirunut kembali kepada bentuk kesenian Hellenistic Gandhara. Dalam seni relief beberapa anasir Gandhara itu adalah:
a.         Bentuk relief tinggi
Awalnya terdapat dalam pahatan-pahatan seni relief Gandhara yang membuat figur   tokoh-tokoh menjadi lebih menonjol dari bidang pahatan.
b.      Gaya naturalis
Salah satu ciri yang terdapat dalam pemahatan relief masa Klasik Tua adalah gaya naturalis, gaya demikian sebenarnya telah dikenal sejak zaman kesenian Gandhara. c.Wajah digambarkan en-face, menghadap  ke pengamat.
Dalam pemahatan relief wajah tokoh-tokoh dibuat menghadap ke pengamat, gaya ini terdapat dalam pemahatan relief cerita Karmmavibhangga, Lalitavistara dan lainnya  di Candi Borobudur.
Adanya penggambaran lipatan kain (draperi)
Relief gaya seni Gandhara sangat memperhatikan penggambaran lipatan kain, terutama pada bagian busana yang dikenakan oleh para tokoh. Lipatan kain itu digambarkan sangat halus dan naturalis, sehingga jatuhnya kain dan lipatan kain hampir seperti kenyataan sebenarnya.
Dalam pada itu di bidang seni arca terdapat pula beberapa anasir seni Gandhara yang masih dapat dilihat dalam senia arca di Jawa, antara lain:
a.      Sikap duduk atau berdiri sambil melakukan mudra (sikap tangan) tertentu
Telah diperlihatkan oleh berbagai arca dari kesenian Gandhara ketiganya merupakan arca Bhoddhisattva dalam sikap berdiri tangannya terpotong, sikap duduk dengan mudra dhyana dan Bhoddhisattva lainnya berdiri dengan sikap tangan abhayamudra (tangan kanan) dan tangan kirinya diletakkan dipinggang kiri.
Sikap duduk atau berdiri dengan melakukan berbagai mudra juga diperlihatkan oleh arca-arca dari masa Klasik Tua di Jawa bagian tengah seperti arca Agastya dan Wisnu dari Candi Banon dalam sikap berdiri samabhangga, tubuhnya tidak dibalut busana, busana hanya sederhana tanpa draperi yang berlebihan seperti arca Gandhara. Begitupun arca-arca Buddha dari Candi Borobudur memperlihatkan mudra tertentu sesuai dengan ajaran keagamaannya.
b.      Pita-pita di belakang kepala
Merupakan suatu hal yang menarik adalah mengenai hiasan pita di belakang kepala arca. Dalam gaya seni arca di Jawa, hiasan pita-pita tersebut baru dikenal dalam seni arca masa Majapahit yang berkembang antara abad ke-14—15 M. Di Lingkungan seni arca Gandhara hiasan pita-pita di belakang kepala arca itu telah lama dikenal. Pita yang berkibar di belakang arca terdapat pada beberapa arca Bhoddhisattvanya.
Beberapa anasir seni yang masih kemungkinan besar berasal dari gaya seni Hellenistic Gandhara ternyata masih dapat dijumpai dalam gaya seni arca dan relief di Jawa. Mungkin kajian di masa mendatang yang lebih mendalam akan banyak mengungkap lagi macam anasir seni lainnya yang masih bertahan dalam kesenian Jawa Kuno jauh beberapa abad kemudian setelah kesenian Gandhara meredup.

Secara historis dan arkeologis memang tidak ada hubungan langsung antara kebudayaan Yunani-Romawi dengan perkembangan kebudayaan di kepulauan Indonesia masa silam. Hal sangat mungkin terjadi akibat jauhnya jarak yang memisahkan wilayah Yunani kuno di Laut Tengah (Eropa) dan kepulauan Nusantara yang berada di Laut Asia Tenggara. Sebenarnya berita-berita tentang adanya pulau rempah-rempah yang terletak di wilayah timur telah terdengar dan dicatat oleh para sejarawan dan geograf dari Yunani-Romawi, hanya saja kunjungan langsung dari orang-orang Yunani Kuno ke kepulauan Indonesia belum pernah ada buktinya.
Dalam hal kebudayaan,  secara teoritis perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha Nusantara, terutama di Jawa, sedikit banyak telah mendapat pengaruh anasir kebudayaan Yunani Kuno lewat seni Hellenistic yang pernah berkembang di Gandhara, wilayah India Utara. Hellenistic Art itu telah mempengaruhi kesenian Mathura dan Gupta yang berkembang agak kemudian di India, kesenian Gupta yang bersifat Buddha itu juga masuk ke Jawa. Maka dengan sendirinya ada gaya seni Hellenistic yang diterima dan dikembangkan oleh seniman-seniman Jawa Kuno.
Diharapkan di masa mendatang penelitian secara khusus terhadap anasir seni Hellenistic di Indonesia dapat segera dilakukan, hal itu untuk membuktikan bahwa sejak masa silam, dalam sejarah antara bangsa Yunani dan bangsa Indonesia telah ada hubungan yang baik dan dapat dikembangkan lebih lanjut di masa sekarang ini.

v  PERSAMAAN DAN PERBEDAAN AGAMA HINDU-BUDHA
Persamaan Hindu dan Budha :
-          Sama-samaØ tumbuh dan berkembang di India
-          Selalu berusaha untuk meletakkan dasar-dasar ajaran kebenaranØ dalam kehidupan
      manusia di dunia ini. Di dasarkan pada ajaran agama yang dibenarkan.
-          TujuanØ untuk menyelamatkan umat manusia dari rasa kegelapan/ mengantarkan umat
-           manusia dapat mencapai tujuan hidupnya yaitu kesempurnaan.
Perbedaan Hindu dan Budha :
HINDU
BUDHA
Muncul sebagai perpaduan budaya bangsa Aria dan bangsa Dravida
Muncul sebagai hasil pemikiran dan pencerahan yang diperoleh Sidharta dalam rangka mencari jalan lain menuju kesempurnaan(nirwana)
Kitab sucinya, WEDA
Kitab Sucinya, TRIPITAKA
Mengakui 3 dewa tertinggi yang disebut Trimurti
Mengakui Sidharta Gautama sebagai guru besar/ pemimpin agama Budha
Kehidupan masyarakat dikelompokkan menjadi 4 golongan yang disebut Kasta (kedudukan seseorang dalam masyarakat diterima secara turun-temurun/didasarkan pada keturunan).
Tidak diakui adanya kasta dan memandang kedudukan seseorang dalam masyarakat adalah sama.
Adanya pembedaan harkat dan martabat/hak dan kewajiban seseorang
Tidak mengenal pembagian hak antara pria dan wanita
Agama Hindu hanya dapat dipelajari oleh kaum pendeta/Brahmana dan disebarkan/ diajarkan pada golongan tertentu sehingga sering disebut agamanya kaum brahmana.
Agama Budha dapat dipelajari dan diterima oleh semua orang tanpa memandang kasta
Agama Hindu hanya bisa dipelajari dengan menggunakan bahasa Sansekerta
Agama Budha disebarkan pada rakyat dengan menggunakan bahasa rakyat sehari-hari, seperti bahasa Prakrit
Kesempurnaan (Nirwana) hanya dapat dicapai dengan bantuan/bimbingan pendeta
Setiap orang dapat mencapai kesempurnaan dengan usaha sendiri yaitu dengan meditasi
Seorang terlahir sebagai Hindu bukan menjadi Hindu sehingga kehidupan telah ditentukan sejak lahir.
Kehidupannya ditentukan oleh darma baik yang berhasil dilakukan semasa hidup
Mengenal adanya kelahiran kembali setelah kematian (reinkarnasi)
Tidak menenal reinkarnasi tetapi mengenal karma
Dibenarkan untuk mengadakan upacara korban
Tidak dibenarkan mengadakan upacara korban

Peninggalan-peninggalan Kebudayaan Hindu-Budha
                                    Masuknya kebudayaan India ke Indonesia telah membawa pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Kebudayaan yang datang dari India mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan asli Indonesia. Terjadilah proses akulturasi. Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan sejarah dalam berbagai bidang, antara lain:
1)     Bidang agama, dibuktikan dengan berkembangnya agama Hindu dan Budha di Indonesia.
2)     Bidang politik dan pemerintahan, sistem pemerintahan yang berlangsung di Indonesia   masih berupa pemerintahan kesukuan yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Kemudian masuknya pengaruh India membawa pengaruh pada terbentuknya kerajaan yang bercorak Hindu-Budha di Indonesia.
3)      Bidang pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan semacam asrama merupakan bukti dari pengaruh kebudayaan Hindu-Budha. Lembaga tersebut mempelajari satu bidang saja, yaitu keagamaan.
4)     Bidang sastra dan bahasa, pengaruh kebudayaan Hindu-Budha pada bidang sastra menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa oleh masyarakat Indonesia. Karya sastra itu antara lain:
a.       Arjunawiwaha,
b.      Bharatayudha,
c.       Gatotkacasraya
d.      Arjuna wijaya dan Sutasoma
e.       Negarakertagama
f.       Wretta sancaya Lubdhaka.
5)       Bidang seni tari, relief-relief yang terdapat pada candi-candi Borobudur dan Prambanan   menunjukan adanya bentuk tarian yang berkembang pada masa itu. Tarian perang, tuwung, bungkuk, ganding, matapukan merupakan tarian yang terlihat direlief candi tersebut.
6)       Hiasan pada candi atau sering disebut dengan relief yang terdapat pada candi-candi di Indonesia.
7)       Wujud akulturasi pemujaan arwah leluhur dengan ajaran Hindu-Budha yang dapat dilihat dari bentuk arca dan patung yang ditempatkan di Candi.
8)      Bidang seni bangunan. Bidang seni bangunan adalah salah satu peninggalan budaya Hindu-Budha di Indonesia yang sangat menonjol antara lain candi dan stupa.


                                                             BAB III
                                                            PENUTUP

3.1   KESIMPULAN
Persebaran agama dan budaya Hindu-Budha dari India ke Indonesia melalui jalur lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Sejak awal abad 1 M Indonesia telah menjalin hubungan dagang dengan negara lain. Hal ini, dikarenakan letak geografis Indonesia yang sangat strategis sehingga memungkinkan hubungan dagang dengan negara lain. Pelayaran di Indonesia awalnya dilakukan hanya sebagai lalu lintas utama penghubung antarpulau tetapi kemudian hal tersebut mendorong adanya aktivitas perdagangan. Untuk penyiaran Agama Hindu ke Indonesia, terdapat beberapa pendapat/hipotesa yaitu antara lain Hipotesis Ksatria, Hipotesis Waisya, Hipotesis Sudra, Hipotesis Brahmana, Hipotesis Arus Balik. proses penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Budha atau para biksu, yang menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar agama Budha di India
proses penyebaran kedua dilakukan oleh golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta.
Rute perjalanan para penyebar agama dan budaya Hindu Buddha, yaitu dari India menuju Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, kemudian ke Nusantara. 

Sementara itu, dari Semenanjung Malaya ada yang terus ke Kamboja, Vietnam, Cina, Korea, dan Jepang. Di antara mereka ada yang langsung dari India menuju Indonesia dengan memanfaatkan bertiupnya angin muson barat.
Melalui Jalur Darat
Para penyebar agama dan budaya Hindu –Buddha yang menggunakan jalur darat mengikuti para pedagang melalui Jalan Sutra, dari India ke Tibet terus ke utara sampai dengan Cina, Korea, dan Jepang. Ada juga yang melakukan perjalanan dari India utara menuju Bangladesh, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya kemudian berlayar menuju Indonesia.
Masuknya Hindu- Budha ke Indonesia membawa pengaruh yang luas di berbagai bidang di Indonesia .
Contohnya pengaruh di bidang :
  • Politik : Berdirinya kerajaan –kerajaan yang bercorak Hindu-Budha di  Indonesia .
  • Sosial : Dikenalnya sistem kasta di Indonesia .
  • Budaya : Terjadi asimilasi kebudayaan Hindu- Budha dengan budaya asli Indonesia .
  • Agama : Bergesernya sistem animisme dan dinamisme ke menyembah para dewa.
  • Bangunan / arsitek : Berkembangnya bangunan candi di Indonesia.
  • Ilmu pengetahuan : Dikenalnya huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta  serta tulisan .


3.2  SARAN
Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada tahap awal diyakini berasal dari India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita membandingkan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan kemiripan itu. Sebelum kenal dengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki masih sangat sederhana. Saat itu belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi atau keraton. Tata kota di pusat kerajaan juga dipengaruhi kebudayaan hindu. Demikian pula dalam hal kebudayaan yang lain seperti peribadatan dan kesastraan.Kita harus menjaga kelestarian dan budaya-budaya yang ditinggalkan agama Hindu-Budha.







DAFTAR PUSTAKA

Erwin Tuti Nuriah. Asia Selatan Dalam Sejarah. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1990
Rickflefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyaarta : Gajah Mada   university Press,  1998


Sumber Internet: